Sabtu, 07 November 2009

BERLANGSUNGNYA MASA NIFAS (MASA HAID)


Oleh: Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi‘î rahimahullâh
Soal:
Syaikh yang mulia, kami mohon fatwanya, semoga anda memperoleh ganjaran pahala. Berapa lama berlangsungnya masa nifas, sehingga dia bisa (kembali) shalat? Demikian juga (berlangsungnya) masa haid?
Asy-Syaikh menjawab:
Wanita dalam keadaan nifas sampai darah nifas tidak lagi keluar, kemudian ia (harus) mandi besar dan melaksanakan shalat. Kondisi wanita satu sama lainnya berbeda. Di antara mereka ada yang darahnya berhenti dalam selang waktu satu pekan pasca persalinan. Di antara mereka ada yang terhenti darahnya dalam selang waktu 25 hari. Bisa jadi di antara mereka ada yang terhenti darah nifasnya setelah 40 hari atau 60 hari jika melihat darah telah berhenti. Bahkan di antara mereka ada yang tidak melihat darah sama sekali. ‘Aisyah pernah ditanya ihwal seorang wanita yang nifas, lalu ia tidak melihat darah, beliau berkata: “Allah telah membersihkan (darah)nya.” Bila darah nifas telah berhenti walaupun hanya satu hari atau selama 60 hari, maka ia wajib mandi besar dan melaksanakan shalat. Demikianpula bila waktu ini bulan Ramadhan, maka ia harus berpuasa. Demikian juga dengan wanita yang sedang haid. Karena wanita lebih mengetahui ihwal haidnya. Boleh jadi di antara mereka ada yang haid hanya selama satu hari. Di antara mereka ada haid selama dua hari, atau tiga hari sampai tujuh hari, 15 hari dan ia masih mengeluarkan darah haid selama beberapa waktu. Hanya saja, jika darah itu terus keluar, maka darah yang keluar itu dinamakan darah istihadhah. Ia merujuk pada kebiasaan masa haidnya -jika ia memang mempunyai kebiasaan haid sebelum ia mengalami sakit tersebut. Sebab hal itu telah berubah menjadi penyakit, bukan darah haid. Jika kebiasaan masa haidnya -sebelum ia menderita penyakit itu- adalah tujuh hari, maka masa haidnya adalah tujuh hari. Apabila ia tidak memiliki rutinitas jadwal haid maka ia bisa mengamati warna darahnya. Darah haid warnanya hitam, dapat diketahui dengan baunya yang amis. Jika darah itu berwarna hitam dan mengeluarkan bau amis, maka darah itu dianggap darah haid. Setelah itu ia (harus) menunaikan shalat, puasa dan suaminya boleh menggaulinya, sebab ia dianggap sedang mengalami istihadhah. Apabia ia belum memiliki rutinitas jadwal haid maka itu adalh fase pendahuluan. Apabila ia masih belia dan masih baru pertama kali mengalami istihadhah sementara ia belum memiliki rutinitas masa haidh, darah (yang keluar pun) belum bisa dibedakan, maka ia merujuk pada rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan, ibu dan sanak familinya, sehingga ia dapat mengetahui berapa lama berlangsungnya masa haid mereka. Boleh jadi rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan dan sanak family memiliki keserupaan. Wallâhul Musta’ân. Ia wajib berusaha secara optimal dalam masalah ini. Adapun jika itu hanya haid saja, maka berlangsungnya masa haid adalah keluarnya darah. Sepatutnya, dia tidak tergesa-gesa dan ia tidak lantas mandi besar, kecuali jika ia telah benar-benar melihat lendir berwarna putih. Dalam kesempatan ini ada suatu hal yang ingin saya beri catatan, yaitu sebagian wanita mandi besar dan bersuci, kemudian tahu-tahu ada darah yang kembali keluar. Jika darah yang keluar itu menyerupai sifat-sifat darah haid, maka itu adalah darah haid. Jika yang keluar itu hanya berupa air yang berwarna kekuning-kuningan dan sangat keruh, dan keluarnya darah tersebut di luar waktu haid, (dalam hal ini) Ummu Athiyah berkata: “Dulu kami tidak menganggap darah bercampur nanah dan darah kotor termasuk darah haid.” Al-Kadr (air yang sangat keruh) adalah seperti air bercampur darah yang keluar dari vagina. Apabila cairan itu keluar pada siklus haid, maka cairan itu dianggap darah haidh. Jika darah itu keluar di luar siklus haid, maka darah itu tidak dianggap apa-apa (bukan darah haid). (Ijaabatu as-Saail, Soal No. 353)
Sumber: إجابة السائل karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i. Edisi Indonesia: Asy-Syaikh Muqbil Menjawab Masalah Wanita, hal. 197-200. Penerjemah: Abu ‘Abdillah Salim. Editor: Abu Faruq Ayip Syafruddin. Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1. Dinukil untuk http://akhwat.web.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar